Alfri

Alfri

Halim

Wanseptember

Wanseptember
Jumat, 27 September 2024, 19:41 WIB
Last Updated 2024-09-27T12:42:48Z
Pasar HorasPedagamgSianțar

Perspektif Kebijakan Relokasi Pedagang Pasar Horas di Mata Yuda Cristafari

Yuda Cristafari. (Foto/Istimewa).

Pematangsiantar - nduma.id


Kebijakan relokasi pedagang pasca terbakarnya Pasar Horas ke Jalan Sutomo oleh Pemko Pematangsiantar memicu gelombang protes dari sopir angkutan umum. 


Kepala Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EK-LMND), Yuda Cristafari, menyebutkan bahwa  kebijakan tersebut telah menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat.


Karenanya hal ini di nilai miris oleh Yuda Cristafari.


Ia menyoroti kalau aksi boikot yang dilakukan  ratusan sopir pada hari ini di Jalan Sutomo bukan hanya sekadar unjuk rasa.


"Ini merupakan gambaran nyata dari ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dianggap diambil tanpa melibatkan pemangku kepentingan secara luas," Kata Yuda, Jumat, (27/09/2024).


Dari perspektif Eksekutif Kota Pematangsiantar Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (EK-LMND), mengaanalisis terhadap implikasi hukum dan sosial dari kebijakan ini sangat mendesak.


Yuda menerangkan pelanggaran terhadap tata kelola ruang publik berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.


"Namun, kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemko terkesan sepihak, mengabaikan konsultasi yang seharusnya melibatkan sopir angkutan umum dan pedagang," tandas Yuda.


Keputusan itu dilihatnya bukan hanya mencerminkan kurangnya transparansi, tetapi juga menandakan lemahnya komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi lokal.


Selanjutnya, Yuda menyebutkan, hak partisipasi masyarakat yang terlanggar menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap kebijakan publik yang berdampak langsung pada masyarakat harus melibatkan partisipasi publik. 


"Protes dari sopir angkutan umum menunjukkan bahwa mereka merasa terpinggirkan, dan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak mereka untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Ketidakpatuhan terhadap peraturan ini tidak hanya menimbulkan potensi sengketa hukum, tetapi juga merusak legitimasi kebijakan yang diambil," jelas Yuda.


Yuda juga menyebutkan, ancaman terhadap hak ekonomi dan sosial dalam kerangka hak asasi manusia, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap individu berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. 


"Kebijakan relokasi yang diputuskan tanpa alternatif yang jelas berisiko melanggar hak-hak ekonomi dan sosial sopir angkutan umum, yang sudah terancam oleh perubahan lokasi yang tidak diperhitungkan dengan matang," kata Yuda.


Selanjutnya, Yuda menyebutkan, potensi gugatan hukum.


"Keputusan ini membuka peluang bagi sopir angkutan umum untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, setiap individu berhak untuk menggugat keputusan yang merugikan mereka. Dalam konteks ini, sopir dapat menuntut Pemko atas pelanggaran hak partisipasi dan hak ekonomi yang seharusnya dilindungi oleh hukum," kata Yuda.


Karena itu Yuda menyarankan beberapa rekomendasi 


Pertama dialog terbuka dan transparan.


Pemko disarankannya perlu segera membuka forum konsultasi yang melibatkan semua pihak, termasuk pedagang dan sopir, untuk mendiskusikan kebijakan secara komprehensif.


Kemudian studi kelayakan yang mendalam.


Melakukan studi dampak sosial dan ekonomi yang menyeluruh sebelum merelokasi pedagang, melibatkan tim ahli dari berbagai disiplin.


Revisi kebijakan berbasis bukti.


Sesuaikan kebijakan berdasarkan hasil studi dan masukan dari konsultasi publik, guna memastikan keadilan dan keberlanjutan.


Dalam perspektif EK-LMND, keputusan Pemko Pematangsiantar adalah contoh jelas dari bagaimana kebijakan yang diambil tanpa melibatkan masyarakat dapat menciptakan ketidakpuasan yang mendalam. 


Untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan, Pemko harus mengedepankan partisipasi publik dalam setiap langkah kebijakan, menghindari konflik dan membangun kepercayaan di antara semua pemangku kepentingan. 


"Tanpa langkah-langkah ini, kebijakan ini berisiko tidak hanya gagal, tetapi juga merusak reputasi pemerintah di mata masyarakat," terang Yuda.


Penulis : Ari

Redaktur : Rudi