Massa aksi di Pengadilan Negeri Pematangsianțar. (Foto/Ari). |
Pematangsiantar - nduma.id
Di tengah suasana Bulan Kemerdekaan yang seharusnya menjadi simbol kebebasan dan keadilan, Kota Pematangsiantar menjadi saksi aksi damai yang menggugah kesadaran atas ketidakadilan hukum yang semakin dirasakan oleh rakyat kecil, khususnya para petani. Jumat, 23 Agustus 2024.
Aksi ini digagas oleh Eksekutif Kota Pematangsiantar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EK-LMND) bekerja sama dengan Forum Tani Sejahtera Indonesia (FUTASI), yang menyoroti sebuah kasus hukum yang mengingatkan kembali pada masa kelam penjajahan.
Sekitar 200 orang hadir dalam aksi ini, yang dimulai pada pukul 19.30 WIB di depan Gedung Pengadilan Negeri (PN) Pematangsiantar.
Para peserta aksi menyalakan lilin dan menaburkan bunga, tindakan simbolis untuk memperingati keadilan yang di nilai massa semakin memudar.
Acara diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya", diikuti oleh orasi dari sejumlah tokoh yang terlibat dalam aksi tersebut.
Dalam orasinya, Ketua EK-LMND, Yuda Cristafari, menegaskan bahwa kekuatan rakyat adalah elemen utama dalam melawan dominasi kekuasaan modal.
"Teman-teman petani harus menyadari bahwa hak politik kita di negara ini sama, termasuk hak untuk mendapatkan keadilan di mata hukum," tegas Yuda Cristafari, penuh semangat,
Aksi ini dipicu oleh penahanan Andre, seorang anggota FUTASI, oleh Kepolisian Siantar Martoba.
Masa aksi menyebut penahanan Andre tanpa melalui prosedur hukum yang jelas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam sidang putusan praperadilan yang digelar pada hari Jumat 23 Agustus 2024 pukul 10.00 WIB.
Dimana hakim menolak permohonan Pemohon.
Yuda menyebut kejanggalan dalam proses hukum ini memicu kemarahan masyarakat yang merasa bahwa hukum telah berubah menjadi alat penindasan, serupa dengan masa penjajahan.
Kasus Andre bermula pada 5 Juni 2024, ketika seorang ibu berteriak meminta pertolongan setelah rumahnya dilempari batu oleh petugas keamanan PTPN 3.
Peristiwa ini memicu bentrokan antara masyarakat dan petugas keamanan, yang berujung pada tindakan kekerasan yang melukai ibu tersebut.
Meskipun pelaku kekerasan langsung ditahan berdasarkan bukti yang cukup, nasib Andre justru berbeda.
Dia ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya bukti yang kuat dan ditahan tanpa pernah diberikan kesempatan untuk membela diri.
EK-LMND, sebagai penyelenggara aksi, mengecam keras tindakan ini dan menyamakan praktik hukum yang terjadi dengan "Pengadilan Kain Putih" pada zaman kolonial, di mana hukum hanya melayani yang berkuasa dan mengabaikan hak-hak rakyat pribumi.
"Keadilan di negeri ini telah dirampas, dan Pengadilan Negeri Pematangsiantar bukan lagi tempat untuk mendapatkannya," seru Yuda dalam aksi tersebut.
Proses hukum yang dijalani Andre dianggap massa penuh cacat dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip KUHAP.
Yuda menyebut Hakim yang memimpin sidang praperadilan tersebut diduga tidak objektif dan gagal menerapkan Prinsip Kepastian Hukum dan Prinsip Keadilan.
Keputusan yang diambil dinilai tidak mencerminkan penegakan hukum yang adil dan berimbang.
Dalam pernyataan akhirnya, Eksekutif Kota Pematangsiantar dan Forum Tani Sejahtera Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Pematangsiantar tidak lagi menjadi tempat untuk mendapatkan keadilan, dan hukum bukan lagi menjadi pelindung bagi kaum tertindas.
Sekedar informasi tambahan, Forum Tani Sejahtera Indonesia Adalah sebuah organisasi Petani yang 2 tahun belakangan berkonflik dengan PTPN III.
Penulis : Ari
Redaktur : Rudi