Sosialisasi penanganan stuntuing. (Foto/Istimewa). |
Dairi – nduma.id
Stunting merupakan salah satu gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak yang diakibatkan oleh kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, sehingga panjang dan tinggi badan anak berada di bawah standar yang ditetapkan (Perpres 72 tahun 2021).
Perlu dicermati bahwa pendek dan stunting adalah dua hal yang sangat berbeda. Jika panjang atau tinggi badan berada di bawah 2 standar deviasi (-2 SD) pada kurva standar WHO, maka kondisi tersebut dapat disimpulkan sebagai pendek. Sedangkan, stunting dikatakan terjadi jika perawakan pendek disebabkan oleh kekurangan asupan gizi jangka panjang yang mengakibatkan pertumbuhan anak tidak optimal seperti anak pada umumnya (WHO).
Dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor utama stunting adalah minimnya pengetahuan sejak dini akan kebutuhan gizi ibu hamil dan bayi, serta kurangnya sosialisasi dan penanganan mengenai stunting di masyarakat. Jika gangguan gizi tidak diatasi, maka akan berdampak pada kelangsungan hidup jangka panjang, salah satunya adalah stunting.
Menurut data Puskesdas 2017, selain stunting, gangguan gizi dapat berdampak dalam dua aspek, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek meliputi perkembangan otak yang terganggu, pertumbuhan fisik yang tidak optimal, serta gangguan pada perkembangan organ metabolik. Sementara itu, dampak jangka panjang mencakup menurunnya kemampuan kognitif dan pendidikan, hipertensi, diabetes, obesitas, penyakit jantung, serta tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya atau yang dikenal sebagai stunting.
Stunting menjadi ancaman serius dan besar di Indonesia saat ini. Persentase bayi yang lahir dengan berat badan rendah (<2500 gram) mencapai 10,2%. Sebanyak 19,6% bayi memiliki berat badan yang tidak sesuai dengan usianya (gizi kurang), sedangkan 37,2% memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya (pendek) (Puskesdas).
Guna mengurangi persentase stunting di Indonesia, diperlukan pencegahan dengan memperhatikan asupan gizi anak sejak 1000 hari pertama kehidupan (HPK) dan penanganan melalui stimulasi, pengasuhan, serta pendidikan berkelanjutan. Selain itu, diperlukan intervensi gizi yang spesifik bagi ibu hamil, seperti pemberian suplementasi besi folat, pemeriksaan kehamilan (konseling gizi ibu hamil), dan imunisasi tetanus toksoid (TT) bagi ibu hamil (Puskesdas).
Perhatian juga perlu diberikan kepada ibu yang menyusui anak berusia 0-6 bulan, seperti persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, inisiasi menyusui dini (IMD), imunisasi dasar, pemantauan tumbuh kembang, dan penanganan bayi sakit. Untuk ibu yang menyusui anak berusia 7-23 bulan, penting untuk memberikan asupan gizi seperti MP-ASI, kapsul vitamin A, suplementasi zink, dan zat besi, disertai dengan pemantauan tumbuh kembang secara rutin setiap bulan. Dengan melaksanakan intervensi yang lebih spesifik, kemungkinan besar stunting dapat dicegah (Puskesdas).
Menurut Arjuna, selaku analisi kesehatan ibu dan anak Provinsi Sumatra Utara. Untuk meningkatkan status gizi ibu hamil, menyusui, serta bayi dan anak, peran ayah sangat dibutuhkan. Dukungan ayah selama kehamilan, persalinan, dan setelah kelahiran sangat penting untuk memberikan dukungan mental dan emosional kepada istri, yang secara langsung berdampak pada kesehatan ibu dan anak
Dapat disimpulkan selain peran ayah, pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar dalam pemberantasan stunting di Indonesia. Upaya ini memerlukan kerja sama lintas sektor, termasuk sektor kesehatan, pendidikan, pangan, ekonomi, dan lingkungan hidup. Kolaborasi ini penting untuk memastikan akses terhadap layanan kesehatan yang memadai, pendidikan gizi yang tepat, ketersediaan pangan bergizi, serta lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan upaya bersama dari keluarga dan pemerintah, pencegahan stunting di Indonesia dapat dilakukan dengan lebih efektif.
Penulis : Rudi
Redaktur : Son