Masyarakat adat Sihaporas di Gedung DPRD Simalungun. (Foto / Istimewa). |
SIMALUNGUN - nduma.id
Perwakilan masyarakat adat Sihaporas mendatangai Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Simalungun.
Mereka di terima di ruang Komisi IV. Jumat, 26 Juli 2024.
Kedatangan mereka terkait
ditangkapnya 5 warga masyarakat adat Sihaporas, pada Senin 22 Juli 2024 pukul 03.00 WIB dini hari kemarin oleh pihak kepolisian Resor Simalungun.
Mereka nyebut itu "Penculikan" terhadap rekan mereka.
Perwakilan anggota DPRD Simalungun yang menerima audiensi adalah Maraden Sinaga, Mariono dari fraksi PDIP, Arifin Panjaitan, Junita Veronika Munthe, Walpiden Tampubolon dari fraksi Demokrat, Tumpak Silitonga dari Fraksi Nasdem, Lisnawati Sirait dari Fraksi Perindo.
Maraden Sinaga, salah seorang anggota DPRD Simalungun dari Daerah Pemilihan VI yang menjadi bagian dari lokasi masyarakat adat Sihaporas, di Nagori/Desa Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, menyayangkan peristiwa tersebut.
Karena menurutnya itu merupakan tindakan represif yang dilakukan oleh pihak aparat kepolisian, dan di nilai ada dugaan keterlibatan pihak perusahaan PT. Toba Pulp Lestari (TPL).
Baren Ambarita, perwakilan dari masyarakat adat Sihaporas menyampaikan, bahwa kejadian "Penculikan" ini merupakan bentuk tindakan represif, oleh aparat kepolisian karena tidak ada dialog yang terjadi langsung main tangkap.
"Menurut kami ini adalah pelanggaran berat, maka kami ini mengadulah ke DPRD Simalungun," ujar Baren.
Ia berharap persoalan ini di bahas di komisi III DPR RI.
"Latar belakang kejadian ini, mereka tidak tahu, bahwa ini kan ada proses benturan antara masyarakat adat Sihaporas dengan pekerja PT. TPL, kenapa kita mengadu ke Polres Simalungun di arahkan ke Polsek, katanya karena duluan pihak TPL yang mengadu,” sebut Baren.
Baren juga menyampaikan, masyarakat adat LAMTORAS sudah lama memperjuangkan hak-haknya di Sihaporas.
Ini dinilainya adalah akibat dari persoalan agraria, di mana tanah adat mereka, Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, dikuasai oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL) sampai saat ini.
Mereka tidak rela, tanah itu itu di kuasai oleh TPL seterusnya.
Perjuangan mereka sudah di mulai sejak tahun 1998 masa reformasi
Tahun 2000 sudah ada rekomendasi dari DPRD Simalungun ini, pada masa Samaidun dan sudah turun ke Sihaporas bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Simalungun dan Pemerintah Daerah Simalungun.
Hasilnya DPRD Simalungun mengeluarkan merekomendasikan, agar persoalan tanah adat Sihaporas segera di selesaikan eksekutif.
Tapi sampai saat ini belum ada keputusan Pemerintah Daerah Simalungun dan tanah masih tetap di kuasai oleh PT. Toba Pulp Lestari.
Baren juga menjelaskan, sudah 4 kali masyarakat adat Sihaporas berurusan dengan hukum karena memperjuangkan tanah adat ini.
Pada tahun 2002 atas nama Arisman Ambarita di penjara karena memperjuangkan tanah adat ini.
Kemudian tahun 2004 atas nama Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita.
Lalu tahun 2019 atas nama Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita dan pada tahun 2024 ini kembali lagi ditangkap atas nama Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Gio Ambarita, Parando Tamba.
Perjuangan ini sudah menjadi perjalanan panjang bagi warga.
Pihak kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2019 pun, katanya sudah pernah merekomendasikan kepada Pemkab Simalungun agar membentuk TIM identifikasi, terhadap tanah Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas.
"Tapi tidak ada sampai sekarang, Bupati tidak membuat TIM itu, makanya surat rekomendasi itu tidak berjalan sampai sekarang. Kalau penjaranya diberikan kepada kami untuk menyelesaikan persoalan ini, itu tidak bisa. Harusnya akar persoalan ini yang harus di selesaikan. Maka itu kami menyerahkan persoalan ini kepada bapak DPRD Simalungun ini lah, untuk segara di proses agar bisa bekerja dengan nyaman di tanah adat kami," tegas Baren.
Mangitua Ambarita, selaku tetua adat Sihaporas juga mengatakan mereka sudah berupaya menjalankan prosedur yang di sediakan oleh pemerintah.
Namun belum ada hasil yang maksimal sampai saat ini.
Ia pun menyampaikan bahwa leluhur mereka di Sihaporas sudah ada sekitar tahun 1800 an.
Sudah ada 11 generasi di Sihaporas.
"Jika dihitung 1 generasi 25 tahun berarti kami sudah ada lebih 200 tahun yang lalu ada di sana, juga ada bukti-bukti di lapangan, seperti batas-batas kampung, bekas perkampungan lama dan makam. Namun karena lambatnya pemerintah memproses ini sehingga selalu saja terjadi konflik di lapangan," jelas Mangitua.
Sementara Hengky Manalu, mewakili Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menyampaikan, bahwa ada tumpang tindih klaim yang terjadi di tanah adat Sihaporas, ketika Pemerintah mengklaim sepihak tanah adat Sihaporas menjadi Hutan Negara, kemudian memberikan kepada perusahaan PT. TPL tanpa pernah melibatkan masyarakat adat dalam prosesnya.
Sehingga terjadi penolakan dari masyarakat adat atas kehadiran perusahaan, karena berbagai dampak telah dirasakan masyarakat atas kehadiran perusahaan ini.
Seperti sumber air yang di rusak, hutan untuk kebutuhan ritual adat juga sudah di rusak, di tambah dengan perjuangan masyarakat adat harus menghadapi kriminalisasi dari aparat.
"Jadi menurut kita ini adalah bentuk diskriminasi oleh pemerintah terhadap masyarakat adat, karena sudah sangat lama terjadi. Padahal proses kita juga sudah menjalankan prosedur yang disediakan oleh negara untuk mendapat pengakuan, di mulai dari tingkat pemerintah daerah, provinsi dan juga kementerian namun belum ada realisasi, sehingga akumulasi dari panjangnya proses ini berdampak intensitas konflik yang tinggi di lapangan, jadi perlu mempercepat proses pengakuan terhadap masyarakat adat Sihaporas agar ada kepastian hukum terhadap hak masyarakat adat di Sihaporas,"Tegas Hengky.
Tumpak Silitonga, mewakili fraksi Nasdem menyampaikan, hal ini perlu di tindaklanjuti agar segera di selesaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, supaya peristiwa ini tidak berlarut-larut.
Sedangkan Mariono dari Fraksi PDIP, mengatakan akan mendorong Pansus (panitia khusus) untuk mendalami persoalan tanah dari masyarakat adat Sihaporas.
"Akan meminta kepada pimpinan DPRD Simalungun untuk segera mendorong pembentukan pansus, setelah itu, akan di dorong kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyelesaikan persoalan," tegas Mariono.
Kemudian oleh Tumpak Silitonga, dari fraksi Nasdem setuju untuk dilakukan pansus agar segera ditindaklanjuti ke kementerian Kehutanan dengan melibatkan perwakilan masyarakat.
Mariono yang juga dari fraksi PDIP, menyampaikan pandangan terkait penangkapan, terhadap 5 masyarakat adat Sihaporas tidak sesuai dengan prosedur hukum, dan akan melakukan klarifikasi kepada Polres Simalungun.
“Ini negara hukum harusnya menjalankan sesuai prosedur hukum yang berlaku, polisi tidak boleh semena-mena melakukan tindakan, karena kasus ini kan bukan menangkap teroris,” ucap Mariono.
Mersi Silalahi, seorang perempuan yang menjadi korban, karena suaminya Thomson Ambarita, salah seorang yang menjadi korban penangkapan, juga menyampaikan proses ini menyisakan rasa traumatis.
Karena pasca kejadian tersebut, mereka harus ramai-ramai tidur di posko yang mereka dirikan, juga mereka merasa ketakutan karena menurutnya masih banyak aparat intel yang berkeliaran di sekitar wilayah Sihaporas, juga ada Drone yang selalu memantau mereka saat berladang.
Dalam pertemuan tersebut, Mersi menyampaikan kepada anggota DPRD Simalungun, untuk memberikan peringatan kepada pihak Polisi Resor Simalungun dan juga Polsek Sidamanik agar, tidak melakukan intimidasi lagi, mereka terus merasa di intai.
“Saya selaku perempuan sangat rentan terhadap kejadian ini, suami saya sudah 2 kali di tangkap, padahal anak-anak saya harus bersekolah dan ekonomi kami pun terpuruk karena kejadian ini," Kata Mersi.
Kemudian Maraden Sinaga, kembali menyampaikan, untuk tidak merasa takut.
"Bahwa kita di DPRD Simalungun akan mengingatkan hal ini kepada kepolisian, juga hasil pansus ini akan kita hasilkan rekomendasi kepada instansi pemerintah daerah dan juga kepada kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memperdalam persoalan ini, dan menjadi keputusan DPRD Simalungun," tegas Maraden Sinaga.
Tumpak Silitonga, mengatakan penting untuk menegaskan mana yang menjadi bagian dari masyarakat dan mana yang punya TPL.
"Karena rekomendasi yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan itu juga sudah dijelaskan, harus melakukan pemetaan bagian dari masyarakat agar tidak ada lagi persoalan," kata Tumpak.
Penulis : Ari
Redaktur : Rudi