Masa menggelar aksi protes. (Foto/Istimewa). |
Simalungun - nduma.id
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Sorbatua Siallagan, ketua komunitas adat, dengan hukuman 4 tahun dan denda 1 M subsider kurungan 6 bulan penjara.
Sorbatua didakwa melanggar pasal 78 ayat (3) dan atau ayat (2) UU No. 11/2022 tentang Cipta Kerja.
Tuntutan tersebut disampaikan dalam sidang di Pengadilan Negeri Simalungun. Selasa 30 Juli 2024.
Menanggapi tuntutan tersebut, Boy Raja Marpaung, kuasa hukum dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), menyatakan, bahwa dakwaan terhadap Sorbatua tidak sah karena Undang-undang Cipta Kerja yang menjadi dasar tuntutan sudah dicabut dan tidak berlaku lagi.
"Kami berharap majelis hakim memahami duduk perkara dengan jelas. Ada dua klaim, satu atas nama perusahaan TPL dan satu lagi atas nama Masyarakat Adat. Ini masalah kepemilikan tanah," tegas Boy Raja Marpaung.
Aksi protes besar-besaran juga digelar di depan Pengadilan Negeri Simalungun oleh lebih dari 500 orang dari berbagai elemen masyarakat adat dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL.
Massa memprotes dakwaan JPU terhadap Sorbatua Siallagan dan tindakan aparat yang menculik lima anggota komunitas adat Op. Mamontang Laut Ambarita Sihaporas pekan lalu.
Koordinator aksi, Doni Munte, menyatakan bahwa dakwaan tersebut tidak berdasar karena kesaksian yang dihadirkan JPU tidak dapat membuktikan tuduhan.
"Mereka hanya menduga saja," ujar Doni.
Ia juga mengungkapkan bahwa polisi telah menculik masyarakat adat dan menyiksa mereka.
"Semua saudara kita di foto rilis pers Polres Simalungun mengalami luka lebam di wajah," Sebut Doni.
Kuasa hukum TAMAN, Nurleli Sihotang, menyampaikan bahwa mereka sudah mendaftarkan kasus penculikan lima masyarakat adat ke Pengadilan Negeri Simalungun.
"Kami sudah mendaftarkan gugatan pra-peradilan terkait sah atau tidaknya penangkapan masyarakat adat. Ada masyarakat adat yang diculik, ditendang, dipukuli, bahkan disetrum saat penangkapan. Hal ini tidak sesuai prosedur, tidak ada surat penangkapan sebelumnya, dan dilakukan pada dini hari. Kami ingin ini ditindaklanjuti agar tak ada lagi narasi masyarakat adat diculik. Negara sangat abai akan hal ini," tegas Nurleli.
Mangitua Ambarita, tetua adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, menambahkan masyarakat adat disana sering dikriminalisasi oleh pihak aparat kepolisian.
"Pada 2019, saudara kami, Thomson dan Jonny Ambarita, juga dikriminalisasi. Pada tanggal 22 ada penculikan pada dini hari, anak saya sendiri menjadi korban. Ini harus ditindaklanjuti, masyarakat adat bukan penggarap. Kami sudah ada sebelum negara merdeka." kata Mangitua Ambarita.
Setelah pembacaan tuntutan, massa berpindah ke kantor Bupati Simalungun untuk melanjutkan orasi.
Cavin Fernando, koordinator aksi, menyatakan bahwa Bupati Simalungun telah melakukan pembiaran yang mengakibatkan konflik berkepanjangan.
"Masyarakat adat masih merasakan ketidakadilan meski Indonesia menuju 79 tahun kemerdekaan. Tanah mereka terus terancam oleh konsesi PT. TPL, dan anggota komunitas mereka diculik dan disiksa oleh oknum polres Simalungun," kata Cavin.
Aksi ini menunjukkan solidaritas dan dukungan dari puluhan komunitas masyarakat adat di kawasan Danau Toba, termasuk dari Kabupaten Toba, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Humbang Hasundutan, Samosir, dan Dairi.
Mereka mendukung Sorbatua Siallagan dan komunitas adat yang terkriminalisasi.
Penulis : Ari
Redaktur : Son