Warga saat menggelar diskusi Kritis Perlawanan Oligarki Tambang. (Foto/Istimewa)
DAIRI, Silima Pungga-pungga – nduma.id
Sejumlah warga di Kabupaten Dairi Sumatera utara menggelar diskusi bertema “Diskusi Kritis Perlawanan Oligarki Tambang”, Selasa, 14 Februari 2023.
Diskusi di gelar di Desa Bonian Kecamatan Silima Pungga-pungga Kabupaten Dairi dalam rangka menyikapi persetujuan izin lingkungan PT Dairi Prima Mineral (DPM) yang akan menambang di Kabupaten Dairi.
Diskusi itu menerangkan kalau areal tambang PT DPM ramai dilalui patahan gempa, sehingga rawan banjir dan longsor.
“Kisah tragis atas kesaksian para korban tambang membuktikan bahwa karakter tambang itu memaksa, membongkar, rakus air dan lahan serta dampaknya sangat massif merusak ruang hidup warga dan akan melumpuhkan kehidupan manusia secara total sama di semua daerah aktivitas tambang,” kata Rohani Manalu.
Perwakilan dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) itu mengatakan perusahaan biasanya akan melakukan pendekatan-pendekatan manipulatif dengan pola yang sama di berbagai daerah.
“Perusahaan meninabobokan warga dengan iming-iming akan dipekerjakan misalnya, namun setelah tiga bulan kemudian di PHK dengan dalih tidak sesuai skillnya,” ujar Rohani.
Upaya manipulative itu katanya dimuluskan dan digencarkan dengan pembagian berbagai bantuan seperti beasiswa, jalan akan diperbaiki, fasilitas sekolah dan kesehatan dibuatkan, bantuan kepada para janda, anak-anak, bantuan uang, dan tas anak sekolah.
“Tanpa disadari warga justru aktivitas tambang tersebutlah yang akan menghilangkan mata pencaharian warga, sumber air, menimbulkan pencemaran udara, air dan berbagai penyakit muncul bahkan warga harus meninggalkan kampung halamanya. Kehilangan kehidupan sosial dan budaya lokalnya,” tuturnya.
Disisi lain disebut pihak perusahaan tidak pernah terbuka memberitahukan apa dampak dan bahaya tambang dengan jujur dan objektif.
“Propaganda tambang akan membawa kesejahteraan, peningkatan ekonomi dan kemajuan daerah adalah kampanye kosong dan isapan jempol belaka,” tukas Rohani.
Koordinator Jatam (Jaringan Advokasi Tambang Nasional) Melky Nahar menyebut tambang tidak ada yang mensejahterakan warganya, melainkan hanya mensejahterakan pemilik perusahaan.
“Bisa di cek, di seluruh Indonesia, di manapun tambang tak ada yang mensejahterakan warganya, hanya pemiliknya perusahaanlah yang Sejahtera” kata Melky Nahar.
“Belum lagi kita berhadapan dengan Oligarki Tambang yang dimulai sejak Orde Baru sampai hari ini. Misalnya 56 persen anggota DPR-RI yang duduk di Senayan saat ini terafiliasi atau terhubung dengan bisnis baik kepentingan dengan bisnis tambang, perkebunan dan sektor lainnya. Jadi tidak heran kita teriak tidak didengar oleh pemerintah dan DPR-RI,” sebut Melky lagi.
Di penutup acara, YDPK melalui Diakones Santun Sinaga dalam refleksi yang dibawakannya menyampaikan bahwa warga harus tetap setia meskipun dalam perjalanan banyak godaan, rintangan agar perjuangan bisa sampai pada tujuan yaitu keadilan atas ruang hidup warga yang harus dipertahankan sampai anak cucu sebagai titipan Tuhan.
Sedangkan Petrasa melalui Boy Hutagalung menambakan bahwa mereka bersedia dan dapat membantu petani untuk mengembangkan pertanian kearah yang lebih baik.
“Mari kita saling membantu dan tanah yang kita miliki saat ini jangan sampai kita jual kepada perusahaan tambang karena dari tanahlah kita hidup,” katanya.
Diskusi dihadiri masyarakat diseputar konsesi tambang PT.DPM dan Organisasi Apuk, Petrasa dan YDPK.
Semantara warga korban Tambang Emas Sangihe di Sulawesi, Warga Korban Lumpur Lapindo-Sidoarjo di Jawa Timur yang melawan PT Lapindo Milik Keluarga Aburizal Bakrie, korban Tambang Batu Bara PT KPC (Kalimantan Prima Coal) di Kalimantan, Jatam-Nas (Jaringan Advokasi Tambang Nasional), hadir melalui zoom.
Diskusi diwarnai dengan pemaparan kisah-kisah memilukan oleh korban tambang dari berbagai daerah yang diadvokasi oleh Jatamnas seperti.
Perlawanan warga dengan PT KPC (Kalimantan Prima Coal), sebuah tambang batu bara dengan luas 90 Ribuan Hektar.
Perusahaan ini banyak meninggalkan lubang tambang dengan ukuran setara 1 - 2 luas lapangan sepak bola.
Kalau dilihat cukup indah karena berwarna biru atau hijau, tapi sangat berbahaya karena beracun, ada 1.735 lubang tambang akibat tambang batubara. Dikatakan ada 45 warga meninggal dilubang tambang tersebut.
Dan beberapa masalah yang ditimbulkan dalam megaproyek IKN yaitu pemindahan masyarakat adat DAYAK BASSA sekitar 140 KK dari kampungnya ke tempat lain.
Dikatakan awalnya mereka hidup berburu, cari ikan di sungai. Lalu dipindahkan ke tempat lain yang jauh, dibuatkan rumah-rumah dan luasannya lebih kecil dari kampung mereka sebelumnya.
Warga yang tidak mau pindah didiskriminasi, dengan pembatasan akses kesehatan yaitu imunisasi pada balita, diputus aksesnya dengan ditiadakan imunisasi bagi bayi di kampung tersebut.
Di Kilometer 10 dari Kecamatan Bangalon, Kalimantan misalya diutarakan akses jalan buruk, dan guru-guru harus datang dari Kecamatan mengajar karena tidak ada sekolah yang memadai di desa.
Namun sayangnya KPC mengambil alih tanah kampung di situ sehingga guru guru tidak datang lagi dan anak-anak jadi pindah ke tempat lain untuk sekolah.
Tahun 2010 KPC membuat kolam pembuangan limbah menyebabkan ikan-ikan bermatian karena saat diperiksa airnya telah terkontaminasi racun. Masyarakatpun semakin bingung karena tidak ada lagi ikan di sungai dan sudah dibuktikan sungai sudah tercemar karena dialiri air dari tambang batubara tersebut.
Masyakat di situ diberi JADUP (Jatah Hidup) dengan menggantikan makanan sehat dari alam dengan makanan instan seperti mie, sarden, dll.
Kemudian korban tambang Lumpur Lapindo milik Keluarga Aburizal -Bakrie di Sidoarjo, Jawa Timur menuturkan bahwa di daerah mereka ada lumpur Lapindo akibat kelalaian dari perusahaan milik Aburizal Bakri.
Kondisinya masyarakat disana dikatakan setiap bangun tidur sudah menghirup udara dan air beracun, karena tercemar racun lumpur lapindo. Campur tangan dan perlindungan dari pemerintah di nilai tidak ada.
“ Air harus beli dan anak-anak sekolah tidak ada biaya karena orang tua sudah kehilangan tanah, rumah dan pekerjaan,” ujar warga Sidoarjo melalui zoom.
Saat ini mata pencarian petani sudah tidak lagi ada, hampir 15 tahun warga di sana hidup pontang-panting tanpa ada bantuan, Negara.
“Dimana perempuanlah justru paling merasa dampaknya kalau orang Jawa bilang Ibu Bumi karena merekalah yang menjadi tumpuan kehidupan, air, selamatkan hidup yang sehat, makmur loh jinawi, artinya kita hidup dari bumi,” ujar warga korban lumpur Lapindo itu.
DiPulau Sangihe dengan luas 77,638 meter persegi, negara memberi Izin kepada PT Tambang Emas Sangihe (TMS) untuk menambang emas.
Menolak itu, pada tahun 2021 warga Sangihe menggagas gerakan untuk aksi menolak kehadir tambang.
UU No. 27 tentang pesisir dan pulau kecil yang tidak bisa ditambang, menjadi alat perlawanan mereka.
Aksi-aksi itu dikatakan daftarkan ke pengadilan, dan sampai tahun 2023 mereka mampu menahan laju perusahaan milik Kanada itu. Di Januari 2023 mampu memenangkan gugatan di MA.
Awalnya untuk izin lingkungan, pihak perusahaan menang sekalipun dinilai tak ada ruang bagi perusahaan untuk menang.
Namun akhirnya warga menang di Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi berkat dukungan banyak pihak terutama Jatam, Kuasa Hukum, perantau lokal, nasional bahkan internasional.
Intinya katan mereka gerakan perlawanan harus sungguh-sungguh dan tidak boleh dititipkan kepada siapapun.
Penulis : Rudi
Editor : Gib